Sintren Kabupaten Pekalongan


  1. Sintren Kabupaten Pekalongan




Sintren dari segi asal usul bahasa atau etimologi, “sintren” merupakan gabungan dua suku kata“Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren” berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri”. Sehingga Sintren adalah ” Si putri” yang menjadi objek pemeran utama dalam pertunjukan kesenian sintren ini. Sintren adalan kesenian tari tradisional  masyarakat Jawa Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa  Barat dan Jawa Tengah.
Kesenian Sintren Pekalongan dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi.
1. Versi pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (“sapu tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono. Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat Sulasih “trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono, Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
2. Versi kedua, sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta. Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup. Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Pertunjukan berdasarkan waktu penyelenggaraanya, ada dua gaya sintren yaitu:
a. Pertama, Sintren yang sengaja diselenggarakan bebas, tanpa terbatas dengan wayah (waktu) waktu di sini biasanya berkaitan dengan musim, Sintren jenis ini sering ditanggap diberbagai acara hajatan pernikahan, sunatan atau sekedar penyambutan tamu dalam acara pemerintahan.
b. Kedua, Sintren yang penyelenggaraanya diadakan dalam waktu-waktu tertentu, Sintren jenis ini biasanya diadakan pada saat kemarau panjang, biasanya diadakan selama 35 sampai dengan 40 hari, Sintren jenis ini dipercaya sebagai ritual pemanggil hujan. Sintren yang diselenggarakan bebas biasanya diiringi dengan musik tarling dangdut sebagai musik pengiring. Pemainnya jumlahnya sama seperti Sintren yang diadakan sebagai ritual untuk memanggil hujan, hanya saja si pelaku utama Sintren tak hanya satu Sintren wanita saja sebagai bendara (tuan perempuan), melainkan ditambahkan satu Sintren pria atau yang biasa disebut lais, dan empat orang pemuda yang bertugas menghibur atau biasa disebut bodor.
Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona

0 Komentar

Terbaru