Filosofis Sintren dari berbagai sudut pandang


Makna filosofis yang hendak disampaikan bahwa Tarian Sintren merupakan penerjemahan dari ajaran Islam tentang awal penciptaan Manusia.

Pada awalnya penari Sintren tidak memakai kostum adalah tanda tentang awal kelahiran manusia yang bersih, suci dan fitrah. Saat penari diikat, bermakna ikatan sosial yang berada di dunia, bahwa setiap manusia diikat oleh aturan-aturan norma masyarakat.

Saat dimasukan pertama kali kedalam kurungan bermakna kehidupan manusia di dalam rahim. Kemudian ketika penari Sintren keluar dan menari memakai kostum adalah tanda kemewahan dunia. Kostum yang dipenuhi pernak-pernik menyerupai kehidupan duniawi yang gemerlap.

Ketika memakai kacamata hitam adalah tanda kehidupan dunia ‘membutakan’ manusia. Ketika penari sintren jatuh pingsan pada saat dilempari uang bermakna bahwa kekayaan (uang) bisa seketika membuat manusia terjatuh dan hancur.

Ketika dikurung kembali setelah pingsan adalah tanda bahwa manusia akan kembali menjadi bagian makrokosmos. Bahwa manusia merupakan dari bagian jagat raya ciptaan Allah Swt. Saat pertunjukan berakhir, penari sintren keluar dari kurungan tanpa memakai kostum, bermakna bahwa manusia akan kembali pada keadaan semula seperti selembar kain putih yang dipakai ketika dikuburkan. Sehingga segala kemewahan (kostum) bersifat sementara.

Cara dakwah yang cukup rumit ini merupakan kolaborasi antara kreasi, kekuatan intelektual, pemahaman budaya yang mendalam serta penelusuran aspek religiusitas Islam yang dijalankan oleh para Wali Songo ketika berdakwah atau melakukan Syiar Islam.

Tentu sangat sulit membayangkan bagaimana caranya melakukan dakwah kepada masyarakat Pesisir Jawa yang penuh ritual mistis tanpa melakukan kreasi demikian. Hal ini menandakan betapa cerdasnya para pendakwah Islam di Nusantara 500 tahun yang lalu. Mengkreasikan dakwah Islam menjadi suatu ajaran yang luas, tanpa harus mempersempitnya.
Dari pendapat lainnya mengatakan
Seperti ketika Nabi menghormati suatu kaum yang melakukan ekspresi keseniannya, salah-satu diantaranya dari Aisyah: “Bahwa sewaktu Rosulullah saw masuk ke rumah saya, di samping saya ada dua perempuan sedang memainkan rebana sambil bernyanyi, yang kemudian dihardik oleh Abu bakar, namun Rosulullah saw menyatakan; Biarkanlah, karena setiap kaum mempunyai hari-hari bahagia” (HR. Bukhori, al-Jum’ah 897).

Atau, ketika “Abu Bakar meminta izin untuk masuk ke rumah Rosulullah saw, sedangkan di rumah beliau ada seorang perempuan yang sedang bernyanyi sambil memainkan rebana, lantas datanglah Umar (perempuan tersebut tetap menyanyi), kemudian Utsman datang, perempuan tersebut berhenti menyanyi. Rosulullah saw berkata (berkomentar): Utsman adalah seorang yang pemalu”. (HR. Ahmad, Musnad al-Kufiyin 18325).

Dengan kata lain, sikap Rosulullah saw tersebut adalah upaya persuasif sebagai orang Islam yang berakal dan beradab, dalam rangka mengenalkan hakekat ajaran Islam yang santun dan lemah-lembut penuh kasih-sayang.

Tentu, masih banyak sikap-sikap Nabi yang menjelaskan bagaimana hidup bertoleransi serta menghormati dan berhadapan dengan kegiatan, ritual maupun pagelaran yang diperlihatkan suatu kaum saat itu. Tentu juga, Nabi selalu mengekspresikannya dengan cara-cara yang tidak menyakitkan bahkan tidak pernah menggunakan bahasa-bahasa yang bersifat “membunuh” kreativitas dan potensi yang dimiliki masing-masing manusia. Walaupun dalam soal-soal tertentu, Nabi secara tegas melarang bahkan mengharamkannya.

Seperti yang pernah dilakukan oleh salahsatu wali songo; Sunan Kalijaga, dalam rangka menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Diantaranya melalu media wayang, sang Sunan dapat menyusupkan ajaran-ajaran Islam. Yang notebene wayang adalah perangkat kesenian yang lebih dulu lahir dan memiliki ajaran dan pesan-pesan Hindu. Berkat sang Sunan pula, pada akhirnya masyarakat Jawa-Hindu secara suka rela menganut agama Islam dan hingga kini tersebar di seluruh nusantara.
Sintren, jelas membunuh karakter kesenian Sintren sebagai salah-satu kekayaan seni tradisi Indonesia. Pernyataan tersebut juga secara tidak langsung menggiring opini publik untuk “mengadili” dan mendefinisikan secara sepihak bahwa Sintren adalah kegiatan kesenian pemujaan serta penyesatan, maka seolah-olah wajib ditiadakan. Dan perlahan-lahan, asumsi kita terhadap segala bentuk seni tradisi Indonesia beralih kepada seni Islami dan tidak Islami.

Melihat kecenderungan beberapa kelompok yang mengelompokkan kesenian tradisi secara serampangan, kita bisa memilah dengan jelas; apakah kesenian yang berasal dari Jaziarah Arab (baca; Timur Tengah) itu disebut seni Islami dan apakah kesenian yang bukan berasal dari Jazirah Arab itu bukan termasuk seni Islami? Lantas, apa bedanya Belly Dance (tari perut yang berasal dari Timur Tengah) dengan goyang ngebor-nya Inul Daratista dari Indonesia?

Orang pun akhirnya dengan latah terbawa dialektika membahasakan halal-haram, musyrik dan sesat pada kegiatan-kegiatan kesenian. Bahkan dengan gampang pula melontarkan hukum terhadap kesenian, pernyataan soal pemusyrikkan terhadap seni tradisi Sintren yang dilontarkan Netty Heryawan, justru lebih buruk daripada menghardiknya dengan bahasa yang tidak sopan yang diucapkan oleh seorang muslimah manapun. Berkait dengan hal itu, saya kira istri Gubernur Jawa Barat mestinya meneladani sikap yang sering diekspresikan-diperlihatkan oleh istri Nabi maupun Rosulullah saw sendiri; sebagai istri (perempuan adalah madrasah bagi generasinya) dari seorang pemimpin Jawa Barat.

Sebagai bentuk keprihatinan pada seni tradisi Sintren yang sedang “dimusnahkan” perlahan-lahan oleh derasnya arus kesenian Arabisasi dan Westernisasi, pada akhir catatan ini saya juga hendak menghimbau Netty Heryawan untuk segera meminta maaf secara terbuka kepada pegiat kesenian Sintren (terutama kepada group Sintren Kenthir Darma Wanita Persatuan Kota Cirebon), dengan cara yang rasional dan terdidik. Tidak mungkin ada reaksi bila tidak ada aksi.




0 Komentar