Filosofi Syair Lagu Tarian Sintren

Syair-syair lagu yang dibawakan oleh para pesinden dalam pertunjukan kesenian sintren memiliki nilai-nilai filosofis diantaranya yaitu:
1. Mengandung syiar ajaran agama Islam
Seperti yang terdapat pada lirik syair lagu berikut ini:
Wari lais terapnang sandang ira Pawang lais pasangkan pakaianmu
Dunung alah dunung Majikan duh majikan
Si Dununge bahu kiwa Majikannya bahu kiri
Pangeran kang lara tangis Tuhan yang pengasih-penyayang
 Wari lais adalah sintren yang melambangkan manusia. Terapnang sandang ira melambangkan segala kehendak manusia. Dunung atau majikan adalah Allah SWT yang wajib disembah. Si Dununge bahu kiwa maksudnya adalah Tuhan tidak jauh dari kita, Tuhan selalu mengetahui segala apa yang kita lakukan. Pangeran kang lara tangis memiliki makna bahwa Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagai tempat kita mengabdi dan memohon segala pertolongan.
Secara sosiologis, agama berarti tradisi. Sebagai penuntun umat manusia, pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan, kedamaian, keselamatan.  Lain pendapat dengan Durkheim yang menyatakan bahwa agama adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda sakral.  Agama merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka untuk mengatasi persoalan-persoalan tertinggi dalam kehidupan manusia.  Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat umumnya.  Agama dalam konteks sosial budaya masyarakat Jawa dipahami sebagai sistem keyakinan dan ritual yang berbeda dengan tradisi pada umumnya, dimana Islam mengislamkan budaya pribumi dan mensyiarkan nilai-nilai kebaikan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
         Pada masa penyebaran ajaran agama Islam, syair-syair lagu yang sebelumnya terdapat nilai animisme dan dinamisme yang ada dalam pertunjukan kesenian sintren dirubah menjadi syair-syair islami. Penyebaran ajaran agama Islam pada waktu itu mengalami banyak tantangan. Penyebaran ajaran agama Islam melalui media kesenian merupakan salah satu cara agar ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat pada saat itu mayoritas menganut kepercayaan hindu budha. Dengan menyisipkan nilai-nilai ajaran agama Islam, masyarakat dapat menerima dengan baik datangnya agama Islam dikalangan masyarakat tersebut. Kesenian sintren pada masa penyebaran agama Islam memiliki nilai-nilai falsafah ajaran Islam yang ingin disampaikan kepada para masyarakat.


2. Semangat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
     Perkembangan sintren pada  zaman penjajahan Belanda, Inggris dan Jepang sampai pada zaman setelah Indonesia merdeka dapat dimaknai sebagai suatu simbol. Pada zaman penjajahan Belanda, kesenian sintren tidak lepas dari kekuasaan penjajah. Seperti yang terdapat pada lirik syair lagu berikut ini:
Duwit-duwit gembring
Si… numbak celeng
Keris mlengkung. Tumbak mlengkung
Si.. ditilikung
Ciyet, ciyet di….. dibebencet
     Syair lagu diatas adalah lagu ciptaan Belanda untuk menghina para pejuang, pahlawan pemberontakan penjajah, haya diubah sedikit dari aslinya. Para penjajah menganggap pahlawan Indonesia hanya Duwit gembring  yang tidak bernilai dan tidak berguna tidak mungkin akan mengalahkan penjajah dan sangat sedikit kemungkinan untuk bisa merdeka dari para penjajah. Pada adegan sintren yang terbelenggu oleh tali melambangkan kondisi bangsa Indonesia yang saat itu masih terbelenggu dalam kungkungan penjajah. Dengan tangan terbelenggu gerak kita juga sangat terbatas. Kacamata hitam yang dipakai oleh sintren sama halnya dengan bangsa Indonesia yang tidak dapat melihat dan memilih jalan. Sintren yang terbelenggu dengan tali dimasukkan ke dalam kurungan memiliki makna bahwa kalau kita dapat terbebas dari belenggu para penjajah maka kita akan segera merdeka. Dengan adanya pertunjukan sintren pada saat penjajahan, diharapkan para masyarakat memiliki kesadaran untuk terbebas dari kungkungan para penjajah dan segera mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.
3. Masa Animisme dan Dinamisme
  Sintren merupakan peninggalan nenek moyang zaman animisme dan dinamisme.  Animisme berasal dari kata anima yang berarti ajaran atau doktrin tentang realitas jiwa.  Menurut Tylor, animisme adalah perlambangan dari suatu jiwa atau roh pada beberapa makhluk hidup dan objek bernyawa lainya.  Animisme merupakan kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh. Animisme terutama tersebar diantara golongan penduduk yang hidup dari pertanian. Animisme mengisi kekosongan iman ketuhanan dengan menghayalkan dewa-dewi dan roh pengantara.  Sedangkan dinamisme berasal dari bahasa Yunani yaitu Dunamos yang diingriskan menjadi Dynamic apabila diartikan kedalam bahasa Indonesia memiliki arti  kekuatan, kekuasaan, khasiat atau daya. Dinamisme merupakan sejenis paham dan perasaan keagamaan yang terdapat di berbagai bagian dunia, pada berjenis-jenis bangsa yang menunjukan banyak persamaan-persamaan.




4. Masa Hindu Budha
Pertunjukan sintren sangat berpengaruh pada masa Hindu Budha, seperti yang tercermin pada lirik syair berikut ini:
Kembang Jahe Laos Bunga jahe laos
Kecampur kembang kemuning Kecampur bunga kemuning
Arep balik gage elos Mau pulang silahkan pergi
Mengko sore menea maning Nanti sore kesini lagi
Kata balik dalam lirik syair diatas  memiliki arti mati atau meninggalkan dunia, sedangkan kata menea maning memiliki arti kembali lagi, menitis kembali atau lahir kembali. Dalam keyakinan agama Hindu budha dikenal istilah reinkarnasi.
C. Alat Musik yang digunakan
Alat musik yang digunakan dalam pagelaran kesenian sintren memiliki nilai filosofis yaitu:
1) Memiliki empat jenis waditra, melambangkan iman, tauhid, mafirat dan islam.
2) Memiliki lima waditra yang terdiri dari dua buah bumbung bambu, sebuah kendi, sebuah buyung dan sebuah kecrek, melambang rukun Islam ada lima.
3) Nayaga, pembawa lagu, pemain dan lain-lain berjumlah dua puluh, melambang dua puluh  sifat wajib bagi Allah.

0 Komentar