Sintren dan Modernisasi

Sintren dan Modernisasi

Sintren Jawa dan Sintren Sunda
Sintren merupakan salah satu kesenian rakyat. Ini terindikasi dari beberapa hal, pertama, kesenian ini milik masyarakat pedesaan secara kolektif, meskipun ada tokoh pembina, namun yang memiliki adalah masyarakat. Kedua ciri kesederhanaan masih menonjol dalam setiap pertunjukkan. Ketiga, ada unsur religi atau ghaib di dalamnya. (Djoko Suryo, R.M. Soedarsono, Djoko Soekiman, 1985: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Sintren yang ada di wilayah Jawa Tengah bisa ditelusur asal-usulnya dari Cirebon (Jawa Barat). Kesenian ini sempat berkibar pada tahun 1950 hingga 1963, setelah itu sintren sempat menghilang dan muncul kembali tahun 1990-an. Penyebaran sintren tidak lepas dari kontak antar masyarakat nelayan. Sintren yang berasal dari Cirebon, kemudian dibawa ke wilayah pantai utara lainnya oleh masyarakat Cirebon yang mengadu nasib sebagai seniman. Unsur-unsur masyarakat yang sama, bahasa yang bisa dipahami, dan ketertarikan masyarakat kepada kesenian ini, mempermudan Perkembangan selanjutnya, sintren berkembang di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah Cirebon, yaitu daerah Cilacap, Brebes, dan Pekalongan. (Boediono Herusatoto, 2008: 207)
Wilayah yang berdekatan antara daerah Banyumas bagian barat dengan Kabupaten Jawa Barat, memang menjadi alasan yang tepat untuk terjadinya transfer kebudayaan di antara dua daerah ini. Wilayah Cilacap, Pekalongan, dan Brebes dengan budaya Jawanya yang berkarakteristik lembut bertemu dengan budaya Sunda yang berkarakter keras, maka jadilah suatu kesenian rakyat Sintren yang berkembang dan memiliki karakter kedua budaya tersebut.
Pertunjukkan sintren biasanya diadakan ketika malam bulan purnama pada musim kemarau. Pertunjukkan diawali dengan tabuhan gamelan untuk mengundang para penonton, kemudian diikuti dengan Dupan, yaitu membakar kemenyan oleh sang dukun pawang dengan tujuan memohon perlindungan kepada sang Ghaib. Sebelum pertunjukkan dimulai, ada beberapa tahap yang dilakukan, tahap pertama, dukun mengikat wanita yang akan dijadikan sintren dengan tali. Tahap kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam kurungan besar yang didalamnya terdapat busana dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, dan sintren telah berdandan, tetapi tangan masih terikat tali, kurungan pun ditutup kembali.
Tahap ketiga, kurungan bergoyang yang menandakan sintren telah bisa ditampilkan, kurungan dibuka, sintren telah lepas dari ikatan dan siap untuk menari. Selama pertunjukkan, kemenyan terus dinyalakan oleh sang dukun. Di tengah pertunjukkan, ada balangan dan temohan. Balangan yaitu ketika dari arah penonton ada yang melempar sesuatu kepada sintren, yang menyebabkan sintren terjatuh pingsan.
Dengan menggunakan mantra dan kemenyan, sang dukun memanggil kembali arwah (disebut bidadari) untuk masuk ke dalam raga penari sintren. Pertunjukkan kemudian dilanjutkan dengan temohan, yaitu sintren membawa wadah (tampah/nampan) dan berkeliling ke penonton meminta tanda terima kasih. Untuk lebih menyemarakkan pertunjukkan, muncullah seorang penari lelaki yang disebut dengan bodor (pelawak). Pertunjukkan berlangsung selama dua jam, biasanya dimulai pada pukul 8 malam. Pertunjukkan berakhir dengan memasukkan kembali sintren ke dalam kurungan, beberapa saat kemudian kurungan dibuka, dan sang penari telah berpakaian seperti semula.
Gerak tari sintren memang tidak selembut tari serimpi (diciptakan oleh kraton Jawa) dan tidak sekeras dan setegas tari jaipongan (Jawa Barat), tari ini memiliki gerak yang lebih tegas dari tari-tari Jawa, namun lebih lembut dari tari Jawa Baratan. Gerak tari sintren ini memiliki ciri khas kebudayaan masyarakat pesisir perbatasan yang memiliki sifat “tengah-tengah”, tidak nJawani tidak pula nyundani. Lagu-lagu yang dinyanyikan pun berbeda antara daerah satu dengan lainnya, di Cirebon, yang dinyanyikan dalam pertunjukkan ini adalah lagu Sunda, sedangkan di daerah pesisir Jawa Tengah (Cilacap, Pekalongan, dan Brebes) lagu-lagunya ialah lagu dolanan Jawa, seperti Ilir-ilir, cublak-cublak suweng, padang rembulan, unthuluwuk, pring reketek. Namun, lagu-lagu sunda juga tetap dilantunkan dalam pertunjukkan sintren Jawa, antara lain Cing Cangkeling, Pacublek-cublek uang, Slep dur, dan Pacici-cici Putri. (Boediono Herusatoto, 2008: 210)
Sintren dan Modernisasi
Menurut Jujun S. Suriasumantri, modernisasi adalah proses pembaruan masyarakat tradisional (konvensional) menuju masyarakat yang lebih maju dengan mengacu kepada nilai-nilai yang lebih universal tersebut. Modernisasi sebagai upaya pembaharuan dalam kehidupan suatu bangsa biasanya tumbuh sebagai akibat dari dua penyebab, pertama, perubahan tentang hidup dan kehidupan sebagai akibat peningkatan kecerdasan, kedua, keterikatan dan ketergantungan umat manusia secara universal, baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Modernisasi pada hakikatnya merupakan serangkaian perubahan nilai-nilai dasar yang berupa nilai teori, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai politik dan nilai agama. (Daeng, Hans. J, 2000: 48)
Modernisasi telah membuka akses lebar terhadap terjadinya difusi antara budaya asli (inti) dengan budaya yang baru datang (sekunder). Sintren, sebagai suatu kesenian rakyat, juga mengalami perubahan untuk mempertahankan eksistensinya dalam persaingan di dunia hiburan rakyat. Namun, ciri kesederhanaan dari seni pertunjukkan rakyat sampai sekarang tetap menonjol. Bila terjadi sotisfikasi (kecanggihan), bukan pada garapannya, tetapi hanya pada citra lahiriahnya saja. Demikian pula dengan pertunjukkan sintren, perubahan tidak terjadi pada ritual dan kemagisannya, dalam hal ini ritual dupa, kurungan, balongan, kerasukan arwah. Perubahan terjadi pada sisi busana, lagu-lagu, alat musik, dan tempat yang digunakan. Busana yang digunakan, jika dahulu adalah kebaya (pakaian khas wanita jaman dahulu), maka busana sekarang adalah busana golek (baju tanpa lengan yang biasanya digunakan oleh penari golek).
Lagu-lagu yang dilantunkan dan alat musik juga mengalami perubahan. Untuk menarik penonton, maka lagu-lagu yang dinyanyikan di awal pertunjukkan, seringkali menggunakan lagu-lagu dangdut maupun campursari yang sedang in pada saat itu. Namun ketika sintren akan memulai berdandan dan pertunjukkan akan dimulai, lagu “turun sintren” menjadi lagu wajib. Lagu ini dimaksudkan untuk mengundang arwah yang akan merasuki tubuh penari. Alat musik dan perlengkapan sound system juga telah menggunakan alat-alat modern sebagai penyemarak, seperti penggunaan gitar, suling, gendang, dan penggunaan microphone oleh sinden.
Tempat yang digunakan saat ini, tidak seperti jaman dulu yang di tempat terbuka di atas tanah bertikar mendhong (batang rumput rawa), dikelilingi lima buah obor bambu setinggi satu setengah meter yang ditancapkan di atas tanah sebagai penerangan. Di tengah arena pertunjukkan dipasang kurungan besar terbuat dari bambu yang ditutup dengan kain. Setelah modernisasi, tempat pertunjukkan dipenuhi dengan lampu-lampu yang terang benderang, di tengah arena pertunjukkan tetap dipasang kurungan besar yang ditutup dengan kain beraneka warna. Melalui berbagai perubahan tersebut, seni pertunjukan sintren yang saat ini tinggal di masyarakat tidaklah wingit lagi (istilah bahasa jawa utk menyebut "mistis"), melainkan hanya sekedar hiburan rakyat sebagai wadah mempertahankan seni budaya tradisional. Selain itu, keberadaan pertunjukan seni tradisional tidak hanya akan melenggangkan eksistensi seni tersebut, karena biasanya selama pertunjukan berlangsung akan selalu diiringi dengan keberadaan pasar rakyat yang menyediakan berbagai makanan dan barang-barang tradisional. Makanan dan barang-barang tersebut saat ini tidaklah mudah ditemukan.

0 Komentar